IQ EQ SQ ; ESQ, Konvergensi Nilai Kecerdasan Manusia
Wednesday, February 29, 2012
0
comments
IQ
Bermula pada awal abad 20-an, ketika itu manusia memuja-muja suatu bentuk kecerdasan yang dianggap menentukan keberhasilan manusia di dalam hidupnya. Kecerdasan ini merupakan kecerdasan tertinggi yang akan menentukan masa depan seseorang dan juga masyarakat. Kecerdasan yang dimaksudkan tersebut adalah kecerdasan intelektual (Intellectual Quotient, IQ). Pada masa-masanya, IQ dijadikan tolok ukur kecerdasan manusia. Oleh karenanya, lalu berkembang berbagai metode pengukuran IQ sesorang. Semakin tinggi IQ sesorang maka semakin tinggi kecerdasannya. Dan ini memberi peluang yang besar bagi kesuksesan hidupnya.
Para psikolog baik praktisi maupun penelitinya, beramai-ramai menyusun formula tes IQ (oleh karenanya pula sering disebut psikotes?) untuk memilih dan memilah manusia berdasarkan pada tingkat kecerdasannya. Formula-formula tes IQ masih banyak kita jumpai hingga saat ini, seperti buku psikotes untuk melamar dan tes pekerjaan dan lain-lainnya.
Pada perkembangan umat manusia selanjutnya ternyata IQ tidak mampu mewujudkan “keberhasilan” dalam menghantarkan manusia pada keberhasilan dan kehangatan horisontal. IQ telah gagal membina hubungan antarsesama. IQ hanyalah merupakan kecerdasan yang semata-mata digunakan untuk memecahkan masalah-masalah logika, rasional dan strategis. Oleh karenanya, bila hanya mengandalkan IQ maka seseorang tak ubahnya seperti robot/mesin. Mesin bekerja secara cermat, otomatik dan mekanik dalam memecahkan masalah-masalah logika dan strategis, misalnya saja komputer. Akan tetapi “mesin” telah gagal membina hubungan secara hangat dengan sesamanya. Akhirnya “mesin” ini mengalami keterasingan dari lingkungan dan dunianya sendiri.
EQ
Kemudian, dengan berkembangan ilmu dan pengetahuan di bidang neurologi dan psikologi, terjadilah pergeseran dalam menilai kecerdasan/keberhasilan seseorang. Pada tahun 1990-an Daniel Goleman mengelaborasikan secara terus menerus temuan-temuan mutakhir bidang neurologi dan psikologi, kemudian memformulasikannya menjadi sesuatu yang dinamakan sebagai kecerdasan jenis baru, yaitu kecerdasan emosional (Emotional Quotient, EQ).
Berdasarkan pada teori EQ maka keberhasilan seseorang tidak ditentukan oleh tinggi-rendahnya IQ seseorang yang bersangkutan, tetapi ditentukan oleh bagaimana seseorang tersebut mengelola hubungan antarpersonal secara lebih bermakna. EQ telah memberikan suatu rasa empatik, cinta, ketulusan, kejujuran, kehangatan, motivasi dan kemampuan merespon kegembiraan atau kesedihan secara tepat. EQ juga memberikan kesadaran mengenai perasaan milik diri sendiri dan juga perasaan milik orang lain.
Berbeda dengan IQ yang relatif tak berubah pada diri manusia, EQ bisa mengalami perubahan. EQ bisa meningkat dan menurun. EQ bisa dipelajari untuk terus ditingkatkan dan disempurnakan. Bahkan EQ menjadi landasan bagi penggunakan IQ secara lebih efektif.
Hingga saat ini banyak ditemui metode-metode untuka meningkatkan EQ itu. Buku yang termasuk terkenal dan memberikan kontribusi dalam hal pengembangan kepribadian EQ adalah The Seven Habbit Of Highly Of Effective People karya Stephen R Covey. Kemudian di dunia pendidikan sekarang sedang trend pada buku-buku karya Bobby dePorter dkk seperti Quantum Learning, Quantum Business dan Quantum Teaching. Dan masih banyak lagi.
SQ
Ternyata dengan semakin baiknya kecerdasan emosi seseorang telah menghantarkan pada suatu kepuasan materi, kehangatan hubungan antar sesama, dan dapat bertindak secara tepat dalam mengelola kesedihan dan kegembiraan. Akan tetapi manusia moderen telah dan sedang mengalami kehampaan makna hidup. Mau kemanakah akhir hidup ini?. Untuk apa sih kita hidup? Oke, barangkali hubungan hangat antarpersonal terlah tercipta, materi sudah didapat, tetapi hidup ini terasa hampa tanpa makna. Tidak bahagia!!
Pernah suatu ketika Robin Leach mewawancarai ratusan orang kaya dan terkenal, hasilnya memperlihatkan bahwa kekayaan dan kemasyhuran tidak serta merta menghantarkan mereka pada kebahagiaan yang hakiki. Lantas yang menjadi pertanyaan faktor apakah yang menyebabkan seseorang bahagia? Sebagian menjawab “uang”, “kekayaan”, “kenikmatan seksual”, “kedudukan”, kesehatan”, dan lain-lain. Namun semua jawaban itu tidak menjawab kebahagiaan hakiki, jawaban yang parsial dan tidak menyentuh pada substansi dan hakiki kebahagiaan. Prof Khalil A. Khavari menjawab bahwa faktor yang menhantarkan sesorang pada kebahagiaan hakiki adalah “spiritual”.
Faktor spiritual inilah yang kemudian pada akhir abad 20-an “dieksploitasi” oleh para neurolog dan psikolog untuk mendapatkan suatu formula kecerdasan jenis ketiga. Adalah Sepasang suami istri Danah Zohar dan Ian Marshall yang dianggap awal mula mengelaborasi temuan-temuan ilmiah menjadi kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient, SQ).
Sebagaimana halnya EQ, SQ juga merupakan hasil kerja elaboratif temuan-temuan bidang neurologi dan psikologi. Freud membagi proses psikologis menjadi 2 (dua) yaitu proses primer dan proses sekunder. Proses primer diasosiasikan dengan EQ dan proses sekunder diasosiasikan dengan IQ. EQ mencermikan jaringan asosiatif syaraf otak dan IQ mencerminkan jaringan serial syaraf otak. Proses primer dan sekunder saling berebut kendali dan ekspresi, oleh karenanya terjadi persaingan antara keduanya. Sedangkan SQ ditengarai sebagai proses psikologi yang ketiga dan didasarkan pada sistem syaraf otak ketiga, yakni osilasi-syaraf sinkron yang menyatukan data di seluruh bagian otak. SQ memfasilitasi dialog antara IQ dan EQ sebagaimana yang disebutkan oleh Zohar dan Marshall bahwa SQ merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai hidup, menempatkan perilaku dalam konteks makna secara lebih luas dan kaya. SQ merupakan prasyarat bagi berfungsinya IQ dan SQ secara efektif.
ESQ
Rupanya, apa yang menjadi temuan psikolog barat menjadi kritik bagi Ary Ginanjar Agustian (2001). Bahwa apa yang dicetuskan oleh Zohar dan Marshall di atas hanya masih sebatas pada temuan material dan parsial (sekular). Ary Ginanjar Agustian (lagi-lagi) mengelaborasikan EQ dan SQ dengan nilai-nilai yang dianutnya (Islam) menjadi suatu integrasi yang utuh tanpa dikotomi. Agustian (2001, h.xxxvi) menulis
Selama ini banyak berkembang dalam masyarakat kita sebuah pandangan dengan stereotip, dikotomisasi antara dunia dan akhirat. Dikotomisasi antara unsur-unsur kebendaan dan unsur agama, antara unsur kasat mata dan tak kasat mata. Materialisme versus orientasi nilai-nilai Ilahiyah semata. Mereka yang meilih keberhasilan di alam “vertikal” cenderung berfikir bahwa kesuksesan di dunia justru adalah sesuatu yang bisa “dinisbikan” atau sesuatu yang bisa demikian mudahnya ‘dimarginalkan’. Hasilnya mereka unggul dalam kekusyu’an berdzikir dan kekhitmatan berkontemplasi namun menjadi kalah dalam poercaturan ekonomi, ilmu pengetahuan, sosial, politik dan perdagangan di alam “horizontal”. Begitupun sebaliknya yang hanya berpijak pada alam kebendaan, kekuatan berpikirnya tak pernah diimbangi oleh kekuatan dzikir. Realitas kebendaan yang masih membelenggu hati, tidak mudah baginya untuk berpijak pada alam fitrahnya (zero mind).
Dengan didasarkan pada realitas di atas maka dengan berbekal pada pengalamannya pada dunia bisnis – Ary Ginanjar Agustian adalah seorang pengusaha muda yang tergabung dalam HIPMI dan telah menkuni dunia training kepribadian, pengembangan diri dan karir – dan atas bimbingan spiritual KH. Habib Adnan, menemukan suatu model kecerdasan “alternatif” berupa ESQ model.
ESQ model ini kemudian dituangkan dalam bentuk buku “Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Emotional Spiritual Quotent Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam”. Di dalam buku tersebut Ary Ginanjar Agustian mencoba mengkonvergensikan secara tepat antara kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) dengan didasarkan pada nilai-nilai yang dianut, yaitu Islam dan pengalamannya sebagai seorang pengusaha. Meskipun EQ dan SQ memiliki muatan yang berbeda namun sama-sama penting untuk dapat bersinergi antara satu dengan yang lain. Sebuah penggabungan gagasan kedua energi tersebut menyusun metode yang lebih dapat diandalkan dalam menemukan yang benar dan hakiki.
Bermula pada awal abad 20-an, ketika itu manusia memuja-muja suatu bentuk kecerdasan yang dianggap menentukan keberhasilan manusia di dalam hidupnya. Kecerdasan ini merupakan kecerdasan tertinggi yang akan menentukan masa depan seseorang dan juga masyarakat. Kecerdasan yang dimaksudkan tersebut adalah kecerdasan intelektual (Intellectual Quotient, IQ). Pada masa-masanya, IQ dijadikan tolok ukur kecerdasan manusia. Oleh karenanya, lalu berkembang berbagai metode pengukuran IQ sesorang. Semakin tinggi IQ sesorang maka semakin tinggi kecerdasannya. Dan ini memberi peluang yang besar bagi kesuksesan hidupnya.
Para psikolog baik praktisi maupun penelitinya, beramai-ramai menyusun formula tes IQ (oleh karenanya pula sering disebut psikotes?) untuk memilih dan memilah manusia berdasarkan pada tingkat kecerdasannya. Formula-formula tes IQ masih banyak kita jumpai hingga saat ini, seperti buku psikotes untuk melamar dan tes pekerjaan dan lain-lainnya.
Pada perkembangan umat manusia selanjutnya ternyata IQ tidak mampu mewujudkan “keberhasilan” dalam menghantarkan manusia pada keberhasilan dan kehangatan horisontal. IQ telah gagal membina hubungan antarsesama. IQ hanyalah merupakan kecerdasan yang semata-mata digunakan untuk memecahkan masalah-masalah logika, rasional dan strategis. Oleh karenanya, bila hanya mengandalkan IQ maka seseorang tak ubahnya seperti robot/mesin. Mesin bekerja secara cermat, otomatik dan mekanik dalam memecahkan masalah-masalah logika dan strategis, misalnya saja komputer. Akan tetapi “mesin” telah gagal membina hubungan secara hangat dengan sesamanya. Akhirnya “mesin” ini mengalami keterasingan dari lingkungan dan dunianya sendiri.
EQ
Kemudian, dengan berkembangan ilmu dan pengetahuan di bidang neurologi dan psikologi, terjadilah pergeseran dalam menilai kecerdasan/keberhasilan seseorang. Pada tahun 1990-an Daniel Goleman mengelaborasikan secara terus menerus temuan-temuan mutakhir bidang neurologi dan psikologi, kemudian memformulasikannya menjadi sesuatu yang dinamakan sebagai kecerdasan jenis baru, yaitu kecerdasan emosional (Emotional Quotient, EQ).
Berdasarkan pada teori EQ maka keberhasilan seseorang tidak ditentukan oleh tinggi-rendahnya IQ seseorang yang bersangkutan, tetapi ditentukan oleh bagaimana seseorang tersebut mengelola hubungan antarpersonal secara lebih bermakna. EQ telah memberikan suatu rasa empatik, cinta, ketulusan, kejujuran, kehangatan, motivasi dan kemampuan merespon kegembiraan atau kesedihan secara tepat. EQ juga memberikan kesadaran mengenai perasaan milik diri sendiri dan juga perasaan milik orang lain.
Berbeda dengan IQ yang relatif tak berubah pada diri manusia, EQ bisa mengalami perubahan. EQ bisa meningkat dan menurun. EQ bisa dipelajari untuk terus ditingkatkan dan disempurnakan. Bahkan EQ menjadi landasan bagi penggunakan IQ secara lebih efektif.
Hingga saat ini banyak ditemui metode-metode untuka meningkatkan EQ itu. Buku yang termasuk terkenal dan memberikan kontribusi dalam hal pengembangan kepribadian EQ adalah The Seven Habbit Of Highly Of Effective People karya Stephen R Covey. Kemudian di dunia pendidikan sekarang sedang trend pada buku-buku karya Bobby dePorter dkk seperti Quantum Learning, Quantum Business dan Quantum Teaching. Dan masih banyak lagi.
SQ
Ternyata dengan semakin baiknya kecerdasan emosi seseorang telah menghantarkan pada suatu kepuasan materi, kehangatan hubungan antar sesama, dan dapat bertindak secara tepat dalam mengelola kesedihan dan kegembiraan. Akan tetapi manusia moderen telah dan sedang mengalami kehampaan makna hidup. Mau kemanakah akhir hidup ini?. Untuk apa sih kita hidup? Oke, barangkali hubungan hangat antarpersonal terlah tercipta, materi sudah didapat, tetapi hidup ini terasa hampa tanpa makna. Tidak bahagia!!
Pernah suatu ketika Robin Leach mewawancarai ratusan orang kaya dan terkenal, hasilnya memperlihatkan bahwa kekayaan dan kemasyhuran tidak serta merta menghantarkan mereka pada kebahagiaan yang hakiki. Lantas yang menjadi pertanyaan faktor apakah yang menyebabkan seseorang bahagia? Sebagian menjawab “uang”, “kekayaan”, “kenikmatan seksual”, “kedudukan”, kesehatan”, dan lain-lain. Namun semua jawaban itu tidak menjawab kebahagiaan hakiki, jawaban yang parsial dan tidak menyentuh pada substansi dan hakiki kebahagiaan. Prof Khalil A. Khavari menjawab bahwa faktor yang menhantarkan sesorang pada kebahagiaan hakiki adalah “spiritual”.
Faktor spiritual inilah yang kemudian pada akhir abad 20-an “dieksploitasi” oleh para neurolog dan psikolog untuk mendapatkan suatu formula kecerdasan jenis ketiga. Adalah Sepasang suami istri Danah Zohar dan Ian Marshall yang dianggap awal mula mengelaborasi temuan-temuan ilmiah menjadi kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient, SQ).
Sebagaimana halnya EQ, SQ juga merupakan hasil kerja elaboratif temuan-temuan bidang neurologi dan psikologi. Freud membagi proses psikologis menjadi 2 (dua) yaitu proses primer dan proses sekunder. Proses primer diasosiasikan dengan EQ dan proses sekunder diasosiasikan dengan IQ. EQ mencermikan jaringan asosiatif syaraf otak dan IQ mencerminkan jaringan serial syaraf otak. Proses primer dan sekunder saling berebut kendali dan ekspresi, oleh karenanya terjadi persaingan antara keduanya. Sedangkan SQ ditengarai sebagai proses psikologi yang ketiga dan didasarkan pada sistem syaraf otak ketiga, yakni osilasi-syaraf sinkron yang menyatukan data di seluruh bagian otak. SQ memfasilitasi dialog antara IQ dan EQ sebagaimana yang disebutkan oleh Zohar dan Marshall bahwa SQ merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai hidup, menempatkan perilaku dalam konteks makna secara lebih luas dan kaya. SQ merupakan prasyarat bagi berfungsinya IQ dan SQ secara efektif.
ESQ
Rupanya, apa yang menjadi temuan psikolog barat menjadi kritik bagi Ary Ginanjar Agustian (2001). Bahwa apa yang dicetuskan oleh Zohar dan Marshall di atas hanya masih sebatas pada temuan material dan parsial (sekular). Ary Ginanjar Agustian (lagi-lagi) mengelaborasikan EQ dan SQ dengan nilai-nilai yang dianutnya (Islam) menjadi suatu integrasi yang utuh tanpa dikotomi. Agustian (2001, h.xxxvi) menulis
Selama ini banyak berkembang dalam masyarakat kita sebuah pandangan dengan stereotip, dikotomisasi antara dunia dan akhirat. Dikotomisasi antara unsur-unsur kebendaan dan unsur agama, antara unsur kasat mata dan tak kasat mata. Materialisme versus orientasi nilai-nilai Ilahiyah semata. Mereka yang meilih keberhasilan di alam “vertikal” cenderung berfikir bahwa kesuksesan di dunia justru adalah sesuatu yang bisa “dinisbikan” atau sesuatu yang bisa demikian mudahnya ‘dimarginalkan’. Hasilnya mereka unggul dalam kekusyu’an berdzikir dan kekhitmatan berkontemplasi namun menjadi kalah dalam poercaturan ekonomi, ilmu pengetahuan, sosial, politik dan perdagangan di alam “horizontal”. Begitupun sebaliknya yang hanya berpijak pada alam kebendaan, kekuatan berpikirnya tak pernah diimbangi oleh kekuatan dzikir. Realitas kebendaan yang masih membelenggu hati, tidak mudah baginya untuk berpijak pada alam fitrahnya (zero mind).
Dengan didasarkan pada realitas di atas maka dengan berbekal pada pengalamannya pada dunia bisnis – Ary Ginanjar Agustian adalah seorang pengusaha muda yang tergabung dalam HIPMI dan telah menkuni dunia training kepribadian, pengembangan diri dan karir – dan atas bimbingan spiritual KH. Habib Adnan, menemukan suatu model kecerdasan “alternatif” berupa ESQ model.
ESQ model ini kemudian dituangkan dalam bentuk buku “Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Emotional Spiritual Quotent Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam”. Di dalam buku tersebut Ary Ginanjar Agustian mencoba mengkonvergensikan secara tepat antara kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) dengan didasarkan pada nilai-nilai yang dianut, yaitu Islam dan pengalamannya sebagai seorang pengusaha. Meskipun EQ dan SQ memiliki muatan yang berbeda namun sama-sama penting untuk dapat bersinergi antara satu dengan yang lain. Sebuah penggabungan gagasan kedua energi tersebut menyusun metode yang lebih dapat diandalkan dalam menemukan yang benar dan hakiki.
Baca Selengkapnya ....