IQ EQ SQ ; ESQ, Konvergensi Nilai Kecerdasan Manusia

Posted by Lowongan Kerja Cpns Terbaru Wednesday, February 29, 2012 0 comments
IQ
Bermula pada awal abad 20-an, ketika itu manusia memuja-muja suatu bentuk kecerdasan yang dianggap menentukan keberhasilan manusia di dalam hidupnya.  Kecerdasan ini merupakan kecerdasan tertinggi yang akan menentukan masa depan seseorang dan juga masyarakat.  Kecerdasan yang dimaksudkan tersebut adalah kecerdasan intelektual (Intellectual Quotient, IQ).  Pada masa-masanya, IQ dijadikan tolok ukur kecerdasan manusia.  Oleh karenanya, lalu berkembang berbagai metode pengukuran IQ sesorang.  Semakin tinggi IQ sesorang maka semakin tinggi kecerdasannya.  Dan ini memberi peluang yang besar bagi kesuksesan hidupnya.

Para psikolog baik praktisi maupun penelitinya, beramai-ramai menyusun formula tes IQ (oleh karenanya pula sering disebut psikotes?) untuk memilih dan memilah manusia berdasarkan pada tingkat kecerdasannya.  Formula-formula tes IQ masih banyak kita jumpai hingga saat ini, seperti buku psikotes untuk melamar dan tes pekerjaan dan lain-lainnya.

Pada perkembangan umat manusia selanjutnya ternyata IQ tidak mampu mewujudkan “keberhasilan” dalam menghantarkan manusia pada keberhasilan dan kehangatan horisontal.  IQ telah gagal membina hubungan antarsesama.  IQ hanyalah merupakan kecerdasan yang semata-mata digunakan untuk memecahkan masalah-masalah logika, rasional dan strategis.  Oleh karenanya, bila hanya mengandalkan IQ maka seseorang tak ubahnya seperti robot/mesin.  Mesin bekerja secara cermat, otomatik dan mekanik dalam memecahkan masalah-masalah logika dan strategis, misalnya saja komputer.  Akan tetapi “mesin” telah gagal membina hubungan secara hangat dengan sesamanya.  Akhirnya “mesin” ini mengalami keterasingan dari lingkungan dan dunianya sendiri.

EQ
Kemudian, dengan berkembangan ilmu dan pengetahuan di bidang neurologi dan psikologi, terjadilah pergeseran dalam menilai  kecerdasan/keberhasilan seseorang.  Pada tahun 1990-an Daniel Goleman mengelaborasikan secara terus menerus temuan-temuan mutakhir bidang neurologi dan psikologi, kemudian memformulasikannya menjadi sesuatu yang dinamakan sebagai kecerdasan jenis baru, yaitu kecerdasan emosional (Emotional Quotient, EQ).

Berdasarkan pada teori EQ maka keberhasilan seseorang tidak ditentukan oleh tinggi-rendahnya IQ seseorang yang bersangkutan, tetapi ditentukan oleh bagaimana seseorang tersebut mengelola hubungan antarpersonal secara lebih bermakna.  EQ telah memberikan suatu rasa empatik, cinta, ketulusan, kejujuran, kehangatan, motivasi dan kemampuan merespon kegembiraan atau kesedihan secara tepat.  EQ juga memberikan kesadaran mengenai perasaan milik diri sendiri dan juga perasaan milik orang lain.
Berbeda dengan IQ yang relatif tak berubah pada diri manusia, EQ bisa mengalami perubahan.  EQ bisa meningkat dan menurun.  EQ bisa dipelajari untuk terus ditingkatkan dan disempurnakan.  Bahkan EQ menjadi landasan bagi penggunakan IQ secara lebih efektif.

Hingga saat ini banyak ditemui metode-metode untuka meningkatkan EQ itu.  Buku yang termasuk terkenal dan memberikan kontribusi dalam hal pengembangan kepribadian EQ adalah The Seven Habbit Of Highly Of Effective People karya Stephen R Covey.  Kemudian di dunia pendidikan sekarang sedang trend pada buku-buku karya Bobby dePorter dkk seperti Quantum Learning, Quantum Business dan Quantum Teaching.  Dan masih banyak lagi.

SQ
Ternyata dengan semakin baiknya kecerdasan emosi seseorang telah menghantarkan pada suatu kepuasan materi, kehangatan hubungan antar sesama, dan dapat bertindak secara tepat dalam mengelola kesedihan dan kegembiraan.  Akan tetapi manusia moderen telah dan sedang mengalami kehampaan makna hidup.  Mau kemanakah akhir hidup ini?.  Untuk apa sih kita hidup?  Oke, barangkali hubungan hangat antarpersonal terlah tercipta, materi sudah didapat, tetapi hidup ini terasa hampa tanpa makna.  Tidak bahagia!!
Pernah suatu ketika Robin Leach mewawancarai ratusan orang kaya dan terkenal, hasilnya memperlihatkan bahwa kekayaan dan kemasyhuran tidak serta merta menghantarkan mereka pada kebahagiaan yang hakiki.  Lantas yang menjadi pertanyaan faktor apakah yang menyebabkan seseorang bahagia?  Sebagian menjawab “uang”, “kekayaan”, “kenikmatan seksual”, “kedudukan”, kesehatan”, dan lain-lain.  Namun semua jawaban itu tidak menjawab kebahagiaan hakiki, jawaban yang parsial dan tidak menyentuh pada substansi dan hakiki kebahagiaan.  Prof Khalil A. Khavari menjawab bahwa faktor yang menhantarkan sesorang pada kebahagiaan hakiki adalah “spiritual”.
Faktor spiritual inilah yang kemudian pada akhir abad 20-an “dieksploitasi” oleh para neurolog dan psikolog untuk mendapatkan suatu formula kecerdasan jenis ketiga.  Adalah Sepasang suami istri Danah Zohar dan Ian Marshall yang dianggap awal mula mengelaborasi temuan-temuan ilmiah menjadi kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient, SQ).

Sebagaimana halnya EQ, SQ juga merupakan hasil kerja elaboratif temuan-temuan bidang neurologi dan psikologi.  Freud membagi proses psikologis menjadi 2 (dua) yaitu proses primer dan proses sekunder.  Proses primer diasosiasikan dengan EQ dan proses sekunder diasosiasikan dengan IQ.  EQ mencermikan jaringan asosiatif syaraf otak dan IQ mencerminkan jaringan serial syaraf otak.  Proses primer dan sekunder saling berebut kendali dan ekspresi, oleh karenanya terjadi persaingan antara keduanya.  Sedangkan SQ ditengarai sebagai proses psikologi yang ketiga dan didasarkan pada sistem syaraf otak ketiga, yakni osilasi-syaraf sinkron yang menyatukan data di seluruh bagian otak.  SQ memfasilitasi dialog antara IQ dan EQ sebagaimana yang disebutkan oleh Zohar dan Marshall bahwa SQ merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai hidup, menempatkan perilaku dalam konteks makna secara lebih luas dan kaya.  SQ merupakan prasyarat bagi berfungsinya IQ dan SQ secara efektif.

ESQ
Rupanya, apa yang menjadi temuan psikolog barat menjadi kritik bagi Ary Ginanjar Agustian (2001).  Bahwa apa yang dicetuskan oleh Zohar dan Marshall di atas hanya masih sebatas pada temuan material dan parsial (sekular).  Ary Ginanjar Agustian (lagi-lagi) mengelaborasikan EQ dan SQ dengan nilai-nilai yang dianutnya (Islam) menjadi suatu integrasi yang utuh tanpa dikotomi.  Agustian (2001, h.xxxvi) menulis

Selama ini banyak berkembang dalam masyarakat kita sebuah pandangan dengan stereotip, dikotomisasi antara dunia dan akhirat.  Dikotomisasi antara unsur-unsur kebendaan dan unsur agama, antara unsur kasat mata dan tak kasat mata.  Materialisme versus orientasi nilai-nilai Ilahiyah semata.  Mereka yang meilih keberhasilan di alam “vertikal” cenderung berfikir bahwa kesuksesan di dunia justru adalah sesuatu yang bisa “dinisbikan” atau sesuatu yang bisa demikian mudahnya ‘dimarginalkan’.  Hasilnya mereka unggul dalam kekusyu’an berdzikir dan kekhitmatan berkontemplasi namun menjadi kalah dalam poercaturan ekonomi, ilmu pengetahuan, sosial, politik dan perdagangan di alam “horizontal”.  Begitupun sebaliknya yang hanya berpijak pada alam kebendaan, kekuatan berpikirnya tak pernah diimbangi oleh kekuatan dzikir.  Realitas kebendaan yang masih membelenggu hati, tidak mudah baginya untuk berpijak pada alam fitrahnya (zero mind).

Dengan didasarkan pada realitas di atas maka dengan berbekal pada pengalamannya pada dunia bisnis – Ary Ginanjar Agustian adalah seorang pengusaha muda yang tergabung dalam HIPMI dan telah menkuni dunia training kepribadian, pengembangan diri dan karir – dan atas bimbingan spiritual KH. Habib Adnan, menemukan suatu model kecerdasan “alternatif” berupa ESQ model.
  
ESQ model ini kemudian dituangkan dalam bentuk buku “Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Emotional Spiritual Quotent Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam”.  Di dalam buku tersebut Ary Ginanjar Agustian mencoba mengkonvergensikan secara tepat antara kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) dengan didasarkan pada nilai-nilai yang dianut, yaitu Islam dan pengalamannya sebagai seorang pengusaha.  Meskipun EQ dan SQ memiliki muatan yang berbeda namun sama-sama penting untuk dapat bersinergi antara satu dengan yang lain. Sebuah penggabungan gagasan kedua energi tersebut menyusun metode yang lebih dapat diandalkan dalam menemukan yang benar dan hakiki.

Baca Selengkapnya ....

Tentang IQ dan Pengaruhnya Terhadap Anak dan Lingkungan

Posted by Lowongan Kerja Cpns Terbaru Monday, February 20, 2012 0 comments
Tentang IQ dan Pengaruhnya Terhadap Anak dan Lingkungan : Saya yakin, Anda pernah melakukan tes IQ, entah saat masih di sekolah, saat mau masuk kerja di perusahaan, atau pada saat lain. Bagaimana perasaan Anda ketika mendengar bahwa Anda harus mengikuti tes tersebut? Apa yang ada dalam pikiran Anda? Berapa skor IQ yang anda harapkan?
   
Berapapun skor IQ Anda, bukan itu yang hendak saya bahas dalam tulisan ini. Yang hendak saya bahas adalah apa belief atau kepercayaan Anda tentang IQ.
   
Ada dua teori mengenai kecerdasan atau IQ. Teori pertama mengatakan bahwa IQ adalah sesuatu yang tetap, permanen, tidak bisa berubah atau diubah, apa pun kondisinya. Setiap orang sudah dari sono-nya punya IQ dengan “kadar” tertentu. Teori ini dikenal dengan nama entity theory of intelligence karena kecerdasan digambarkan sebagai “makhluk” yang tinggal di dalam diri kita dan tidak dapat kita ubah.
   
Teori kedua mengatakan bahwa kecerdasan bukanlah sesuatu yang fixed. Dikenal dengan nama incremental theory of intelligence, teori ini melihat kecerdasan dapat ditingkatkan melalui pembelajaran.
   
Nah, pertanyannya, teori mana yang Anda percayai? Yang pertama ataukah yang kedua? Pertanyaan ini penting karena setiap kepercayaan atau belief Anda tentang IQ punya implikasi spesifik.
   
Oh ya? Apa saja implikasinya? Untuk konkretnya, saya akan membahasnya dalam kaitannya dengan murid sekolah.
   
Murid yang percaya bahwa kecerdasan bersifat tetap akan sangat peduli dengan skor IQ. Entah dari mana mereka mengadopsi kepercayaan ini (mungkin dari orangtua atau gurunya), murid tipe ini berusaha tampak dan tampil cerdas. Mereka sama sekali tidak mau dipandang sebagai anak bodoh.
   
Untuk itu, bagaimana cara mereka melakukannya? Mereka akan berusaha mencapai sukses yang bisa diraih dengan mudah, tanpa harus bersusah payah, dan bisa mengalahkan murid lainnya. Mereka akan mulai meragukan kecerdasan mereka sendiri bila berhadapan dengan murid lain yang lebih cerdas, atau saat mengalami kegagalan, kesulitan, atau tugas yang membutuhkan upaya besar untuk menyelesaikannya. Hal ini bahkan berlaku pada murid yang punya kepercayaan diri yang tinggi terhadap kecerdasan mereka.
   
Murid yang percaya dengan teori yang pertama ini melihat tantangan sebagai ancaman bagi harga diri mereka. Mereka akan menolak atau menarik diri dari suatu tugas yang mungkin akan menyingkap kekurangan mereka. Saat berhadapan dengan kondisi yang sulit, mereka akan menunjukkan apa yang disebut dengan helpless response atau respons ketidakberdayaan.
   
Lalu, bagaimana dengan murid yang punya belief bahwa kecerdasaan dapat dikembangkan? Mereka mengakui adanya perbedaan level pengetahuan dan kecepatan dalam mempelajari dan menguasai sesuatu pada masing-masing individu. Namun, mereka lebih focus pada ide bahwa setiap orang, dengan upaya dan bimbingan, dapat meningkatkan kapasitas intelektual mereka. Ini mirip dengan Zone of proximal Development-nya Vygotsky.
   
Mereka akan terus berusaha dan lebih terbuka dalam menghadapi tantangan. Mereka tidak akan khawatir bila mengalami kegagalan. Mengapa bisa demikian? Sebab, bagi mereka, sebenarnya kegagalan itu tidak ada. Yang ada adalah proses pembelajaran. Bukankah lumrah bahwa belajar untuk menguasai materi pelajaran pasti membutuhkan waktu? Bahkan murid yang menyadari bahwa level pengetahuan dan kecepatan penangkapan mereka tidak cukup tinggi akan tetapi tetap bersemangat untuk belajar dan mengerjakan tugas yang cukup sulit bagi mereka. Mereka tetap tekun dan konsisten.
   
Apa yang membuat murid yang percaya bahwa kecerdasan dapat dikembangkan ini merasa cerdas? Mereka merasa cerdas bukan dengan melihat hasil akhir. Mereka merasa cerdas jika sungguh-sungguh berusaha menyelesaikan tugas mereka, mengeluarkan segala upaya untuk mengerti dan menguasai bidang studi tertentu, mengembangkan ketrampilan mereka, serta menggunakan pengetahuan mereka, misalnya, untuk membantu kawan mereka belajar. Murid tipe ini punya pola respons tersendiri yang disebut mastery-oriented response (respons yang berorientasi pada penguasaan) dalam mencapai sukses.
   
Dengan perbedaan capaian yang diimplikasikan oleh kedua teori tersebut, saya percaya pada teori yang kedua, yaitu bahwa kecerdasan dapat dikembangkan. Lagi pula, Alfred Binet merancang tes IQ sebenarnya bukan untuk mengukur tingkat kecerdasan anak, tetapi untuk mengidentifikasi anak-anak yang mengalami kesulitan belajar di sekolah negeri di Paris. Anak-anak ini selanjutnya ditangani secara khusus agar dapat berkembang lebih baik. Jadi, tes IQ bukan bertujuan untuk memberikan label seperti yang selama ini terjadi dalam masyarakat kita.
   
Saya pribadi telah membuktikan kepercayaan saya itu. Ketika masih duduk di kelas 1 SD, saya pernah tidak naik kelas. Namun, inilah yang justru memberikan sesuatu yang sangat berbeda dalam hidup saya. Bagaimana tidak? Orang-orang pada umumnya menyelesaikan pendidikan SD dalam waktu enam tahun, sedangkan saya dalam tujuh tahun. Kita semua tahu, SD adalah  sekolah dasar. Nah, dengan bersekolah lebih lama di tingkat pendidikan ini dari pada orang lain, itu berarti dasar saya lebih kuat, bukan?
   
Sewaktu duduk di SMP dan SMA, saya juga tergolong murid “biasa-biasa saja”. Sewaktu kuliah S1, saya masuk jurusan teknik elektro. Pada semester tiga, saya hampi OD dan disemester  atas hampir DO. Lho? Apa beda OD dengan DO? Jelas beda. OD itu Out Dhewe, keluar sendiri alias mengundurkan diri. Sedangkan DO itu Drop Out alias dikeluarkan oleh perguruan tinggi tempat saya belajar.
   
Saya lulus S1 dengan predikat “memprihatinkan”. Bagaimana tidak? Orang-orang  selesai kuliah tepat waktu, sedangkan saya malah molor, bahkan hampir DO. IP (indeks Prestasi)? Jelas diatas 2.0 lah, tetapi nggak tingi-tinggi amat.
   
Namun, apa yang terjadi sewaktu saya kuliah S2? Ceritanya berbeda. Saya lulus dengan pujian dan mendapat penghargaan khusus dari rektor sebagai wisudawan terbaik dengan IPK tertinggi.
   
Nah, sekarang jelas kan mengapa saya percaya pada teori yang kedua? Namun, jangan salah mengerti. Saya bisa mencapai hasil seperti itu karena mendapat bimbingan dari dosen-dosen saya. Saya juga dipaksa keluar dari comfort zone dengan berbagai tugas selama kuliah S2.
   
Sekarang saya kuliah S3 di Malang. Saya harus menyetir mobil pulang-pergi Surabaya-Malang tiga kali seminggu. Kalau ada kuliah yang dimulai pada pukul 7 pagi, saya harus berangkat dari Surabaya pukul 04.30 karena harus melewati porong yang macet akibat Lumpur Lapindo. Tujuan utama saya bukanlah mendapatkan gelar doctor, tetapi lebih untuk mengembangkan kapasitas intelektual saya, sesuai dengan teori kecerdasan yang saya yakini.
   
So, hati-hati dengan belief Anda tentang IQ. Mungkin Anda tidak sadar bahwa belief Anda telah tertransfer ke anak Anda. Akibatnya? Resiko Anda tanggung sendiri, lho.

Baca Selengkapnya ....

Faktor Kecerdasan Emosional

Posted by Lowongan Kerja Cpns Terbaru Wednesday, February 1, 2012 0 comments
Faktor Kecerdasan Emosional : Goleman mengutip Salovey (2002:58-59) menempatkan menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemapuan tersebut menjadi lima kemampuan utama, yaitu :

a.   Mengenali Emosi Diri
Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 64) kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi.

b.   Mengelola Emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam  menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita (Goleman, 2002 : 77-78). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.

c.   Memotivasi Diri Sendiri
Presatasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri.

d.   Mengenali Emosi Orang Lain
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Menurut Goleman (2002 :57) kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.
   
Rosenthal dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu menyesuiakan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah beraul, dan lebih peka (Goleman, 2002 : 136). Nowicki, ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustasi (Goleman, 2002 : 172). Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain. 

e.   Membina Hubungan
Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2002 : 59). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain.

Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-orang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2002 :59). Ramah tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana siswa mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis mengambil komponen-komponen utama dan prinsip-prinsip dasar dari kecerdasan emosional sebagai faktor untuk mengembangkan instrumen kecerdasan emosional

Baca Selengkapnya ....

Pengertian kecerdasan emosional

Posted by Lowongan Kerja Cpns Terbaru Sunday, January 15, 2012 0 comments
Pengertian kecerdasan emosional : Istilah “kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan.
Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut EQ sebagai :
“himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.” (Shapiro, 1998:8).

Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional.
Keterampilan EQ bukanlah lawan keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. Selain itu, EQ tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan. (Shapiro, 1998-10).
   
Sebuah model pelopor lain yentang kecerdasan emosional diajukan oleh Bar-On pada tahun 1992 seorang ahli psikologi Israel, yang mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tututan  dan tekanan lingkungan (Goleman, 2000 :180).
   
Gardner dalam bukunya yang berjudul Frame Of Mind (Goleman, 2000 : 50-53) mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan oleh Gardner sebagai kecerdasan pribadi yang oleh Daniel Goleman disebut  sebagai kecerdasan emosional.
Menurut Gardner, kecerdasan pribadi terdiri dari :”kecerdasan antar pribadi yaitu kemampuan untuk memahami orang lain, apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu membahu dengan kecerdasan. Sedangkan kecerdasan intra pribadi adalah kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan tersebut adalah kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk menggunakan modal tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif.” (Goleman, 2002 : 52).

Dalam rumusan lain, Gardner menyatakan bahwa inti kecerdasan antar pribadi itu mencakup “kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat orang lain.” Dalam kecerdasan antar pribadi yang merupakan kunci menuju pengetahuan diri, ia mencantumkan “akses menuju perasaan-perasaan diri seseorang dan kemampuan untuk membedakan perasaan-perasaan tersebut serta memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku”. (Goleman, 2002 : 53).
   
Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut, Salovey (Goleman, 200:57) memilih kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal untuk dijadikan sebagai dasar untuk mengungkap kecerdasan emosional pada diri individu. Menurutnya kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.
   
Menurut Goleman (2002 : 512), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
   
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah kemampuan siswa untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.

Baca Selengkapnya ....

Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar

Posted by Lowongan Kerja Cpns Terbaru Sunday, January 1, 2012 0 comments
Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar :    Untuk meraih prestasi belajar yang baik, banyak sekali faktor yang perlu diperhatikan, karena di dalam dunia pendidikan tidak sedikit siswa yang mengalami kegagalan. Kadang ada siswa yang memiliki dorongan yang kuat untuk berprestasi dan kesempatan untuk meningkatkan prestasi, tapi dalam kenyataannya prestasi yang dihasilkan di bawah kemampuannya.
    Untuk meraih prestasi belajar yang baik banyak sekali faktor-faktor yang perlu diperhatikan. Menurut Sumadi Suryabrata (1998 : 233) dan Shertzer dan Stone   (Winkle, 1997 : 591),  secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi belajar dan prestasi belajar dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.:

a.    Faktor internal

Merupakan faktor yang berasal dari dalam diri siswa yang dapat mempengaruhi prestasi belajar. Faktor ini dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu :
1).  Faktor fisiologis
Dalam hal ini, faktor fisiologis yang dimaksud adalah faktor yang berhubungan dengan kesehatan dan pancaindera

a)     Kesehatan badan
Untuk dapat menempuh studi yang baik siswa perlu memperhatikan dan memelihara kesehatan tubuhnya. Keadaan fisik yang lemah dapat menjadi penghalang bagi siswa dalam menyelesaikan program studinya. Dalam upaya memelihara kesehatan fisiknya, siswa perlu memperhatikan pola makan dan pola tidur, untuk memperlancar metabolisme dalam tubuhnya. Selain itu, juga untuk memelihara kesehatan bahkan juga dapat meningkatkan ketangkasan fisik dibutuhkan olahraga yang teratur.

b)    Pancaindera
  Berfungsinya pancaindera merupakan syarat dapatnya belajar itu berlangsung  dengan baik. Dalam sistem pendidikan dewasa ini di antara pancaindera itu yang paling memegang peranan dalam belajar adalah mata dan telinga. Hal ini penting, karena sebagian besar hal-hal yang dipelajari oleh manusia  dipelajari melalui penglihatan dan pendengaran. Dengan demikian, seorang anak yang memiliki cacat fisik atau bahkan cacat mental akan menghambat dirinya didalam menangkap pelajaran, sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi prestasi belajarnya di sekolah.

2) Faktor psikologis
Ada banyak faktor psikologis yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa, antara lain adalah :

a)    Intelligensi
Pada umumnya, prestasi belajar yang ditampilkan siswa mempunyai kaitan yang erat dengan tingkat kecerdasan yang dimiliki siswa. Menurut Binet (Winkle,1997 :529) hakikat inteligensi adalah kemampuan untuk menetapkan dan mempertahankan suatu tujuan, untuk mengadakan suatu penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan itu dan untuk menilai keadaan diri secara kritis dan objektif.  Taraf inteligensi ini sangat mempengaruhi prestasi belajar seorang siswa, di mana siswa yang memiliki taraf inteligensi tinggi mempunyai peluang lebih besar untuk mencapai prestasi belajar yang lebih tinggi. Sebaliknya, siswa yang memiliki taraf inteligensi yang rendah diperkirakan juga akan memiliki prestasi belajar yang rendah. Namun bukanlah suatu yang tidak mungkin jika siswa dengan taraf inteligensi rendah memiliki prestasi belajar yang tinggi, juga sebaliknya .    

b)    Sikap
Sikap yang pasif, rendah diri dan kurang percaya diri dapat merupakan faktor yang menghambat siswa dalam menampilkan prestasi belajarnya. Menurut Sarlito Wirawan (1997:233) sikap adalah kesiapan seseorang untuk bertindak secara tertentu terhadap hal-hal tertentu. Sikap siswa yang positif terhadap mata pelajaran di sekolah merupakan langkah awal yang baik dalam proses belajar mengajar di sekolah.

c)    Motivasi
Menurut Irwanto (1997 : 193) motivasi adalah penggerak perilaku. Motivasi belajar adalah pendorong seseorang untuk belajar. Motivasi timbul karena adanya keinginan atau kebutuhan-kebutuhan dalam diri seseorang. Seseorang berhasil dalam belajar karena ia ingin belajar. Sedangkan menurut Winkle (1991 : 39) motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan yang memberikan arah pada kegiatan belajar itu; maka tujuan yang dikehendaki oleh siswa tercapai. Motivasi belajar merupakan faktor psikis yang bersifat non intelektual. Peranannya yang khas ialah dalam hal gairah atau semangat belajar, siswa yang termotivasi kuat akan mempunyai banyak energi untuk melakukan kegiatan belajar.
b.    Faktor eksternal


Selain faktor-faktor yang ada dalam diri siswa, ada hal-hal lain diluar diri yang dapat mempengaruhi prestasi belajar yang akan diraih, antara lain adalah :

1). Faktor lingkungan keluarga

a)  Sosial ekonomi keluarga
Dengan sosial ekonomi yang memadai, seseorang lebih berkesempatan mendapatkan fasilitas belajar yang lebih baik, mulai dari buku, alat tulis hingga pemilihan sekolah

b). Pendidikan orang tua
Orang tua yang telah menempuh jenjang pendidikan tinggi cenderung lebih memperhatikan dan memahami pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya, dibandingkan dengan yang mempunyai jenjang pendidikan yang lebih rendah.

c). Perhatian orang tua dan suasana hubungan antara anggota keluarga
Dukungan dari keluarga merupakan suatu pemacu semangat berpretasi bagi seseorang. Dukungan dalam hal ini bisa secara langsung, berupa pujian atau nasihat; maupun secara tidak langsung, seperti hubugan keluarga yang harmonis.


2).  Faktor lingkungan sekolah

a). Sarana dan prasarana
Kelengkapan fasilitas sekolah, seperti papan tulis, OHP akan membantu   kelancaran proses belajar mengajar di sekolah; selain bentuk ruangan, sirkulasi udara dan lingkungan sekitar sekolah juga dapat mempengaruhi proses belajar mengajar
          
b). Kompetensi guru dan siswa
Kualitas guru dan siswa sangat penting dalam meraih prestasi, kelengkapan sarana dan prasarana tanpa disertai kinerja yang baik dari para penggunanya akan sia-sia belaka. Bila seorang siswa merasa kebutuhannya untuk berprestasi dengan baik di sekolah terpenuhi, misalnya dengan tersedianya fasilitas dan tenaga pendidik yang berkualitas , yang dapat memenihi rasa ingintahuannya, hubungan dengan guru dan teman-temannya berlangsung harmonis, maka siswa akan memperoleh iklim belajar yang menyenangkan. Dengan demikian, ia akan terdorong untuk terus-menerus meningkatkan prestasi belajarnya.

c). Kurikulum dan metode mengajar
Hal ini meliputi materi dan bagaimana cara memberikan materi tersebut kepada siswa. Metrode pembelajaran yang lebih interaktif sangat diperlukan untuk menumbuhkan minat dan peran serta siswa dalam kegiatan pembelajaran. Sarlito Wirawan (1994:122) mengatakan bahwa faktor yang paling penting adalah faktor guru. Jika guru mengajar dengan arif bijaksana, tegas, memiliki disiplin tinggi, luwes dan mampu membuat siswa menjadi senang akan pelajaran, maka prestasi belajar siswa akan cenderung tinggi, palingtidak siswa tersebut tidak bosan dalam mengikuti pelajaran.

3).  Faktor lingkungan masyarakat

a). Sosial budaya
Pandangan masyarakat tentang pentingnya pendidikan akan mempengaruhi kesungguhan pendidik dan peserta didik. Masyarakat yang masih memandang rendah pendidikan akan enggan mengirimkan anaknya ke sekolah dan cenderung memandang rendah pekerjaan guru/pengajar

b). Partisipasi terhadap pendidikan
Bila semua pihak telah berpartisipasi dan mendukung kegiatan pendidikan, mulai dari pemerintah (berupa kebijakan dan anggaran) sampai pada masyarakat bawah, setiap orang akan lebih menghargai dan berusaha memajukan pendidikan dan ilmu pengetahuan.

Baca Selengkapnya ....

Masalah Kecerdasan Emosional (EQ) Pada Siswa

Posted by Lowongan Kerja Cpns Terbaru Friday, December 30, 2011 1 comments
Masalah Kecerdasan Emosional (EQ) Pada Siswa : Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan perilaku yang diinginkan. Sekolah sebagai lembaga formal merupakan sarana dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan tersebut. Melalui sekolah, siswa belajar berbagai macam hal.
Dalam pendidikan formal, belajar menunjukkan adanya perubahan yang sifatnya positif sehingga pada tahap akhir akan didapat keterampilan, kecakapan dan pengetahuan baru. Hasil dari proses belajar tersebut tercermin dalam prestasi belajarnya. Namun dalam upaya meraih prestasi belajar yang memuaskan dibutuhkan proses belajar.
  
Proses belajar yang terjadi pada individu memang merupakan sesuatu yang penting,  karena melalui belajar individu mengenal lingkungannya dan menyesuaikan diri dengan lingkungan disekitarnya. Menurut Irwanto (1997 :105) belajar merupakan proses perubahan dari belum mampu menjadi mampu dan terjadi dalam jangka waktu tertentu. Dengan belajar, siswa dapat mewujudkan cita-cita yang diharapkan.
  
Belajar akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam diri seseorang. Untuk mengetahui sampai seberapa jauh perubahan yang terjadi, perlu adanya penilaian. Begitu juga dengan yang terjadi pada seorang siswa yang mengikuti suatu pendidikan selalu diadakan penilaian dari hasil belajarnya. Penilaian terhadap hasil belajar seorang siswa untuk mengetahui sejauh mana telah mencapai sasaran belajar inilah yang disebut sebagai prestasi belajar.
  
Prestasi belajar menurut Yaspir Gandhi Wirawan dalam Murjono (1996 :178) adalah:
“ Hasil yang dicapai seorang siswa dalam usaha belajarnya sebagaimana dicantumkan di dalam nilai rapornya. Melalui prestasi belajar seorang siswa dapat mengetahui kemajuan-kemajuan yang telah dicapainya dalam belajar.”

Proses belajar di sekolah adalah proses yang sifatnya kompleks dan menyeluruh. Banyak orang yang berpendapat bahwa untuk meraih prestasi yang tinggi dalam belajar, seseorang harus memiliki  Intelligence Quotient (IQ) yang tinggi, karena inteligensi merupakan bekal potensial yang akan memudahkan dalam belajar dan pada gilirannya akan menghasilkan prestasi belajar yang optimal. Menurut Binet dalam buku Winkel (1997:529) hakikat inteligensi adalah kemampuan untuk menetapkan dan mempertahankan suatu tujuan, untuk mengadakan penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan itu, dan untuk menilai keadaan diri secara kritis dan objektif.

Kenyataannya, dalam proses belajar mengajar di sekolah sering ditemukan siswa yang tidak dapat meraih prestasi belajar yang setara dengan kemampuan inteligensinya. Ada siswa yang mempunyai kemampuan inteligensi tinggi tetapi memperoleh prestasi belajar yang relatif rendah, namun ada siswa yang walaupun kemampuan inteligensinya relatif rendah, dapat meraih prestasi belajar yang relatif tinggi. Itu sebabnya taraf inteligensi bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan seseorang, karena ada faktor lain yang mempengaruhi. Menurut Goleman (2000 : 44), kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, diantaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ) yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati serta kemampuan bekerja sama.

Dalam proses belajar siswa, kedua inteligensi itu sangat diperlukan. IQ tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa partisipasi penghayatan emosional terhadap mata pelajaran yang disampaikan di sekolah. Namun biasanya kedua inteligensi itu saling melengkapi. Keseimbangan antara IQ dan EQ merupakan kunci keberhasilan belajar siswa di sekolah (Goleman, 2002). Pendidikan di sekolah bukan hanya perlu mengembangkan rational intelligence yaitu model pemahaman yang lazimnya dipahami siswa saja, melainkan juga perlu mengembangkan emotional intelligence siswa .
  
Hasil beberapa penelitian di University of Vermont mengenai analisis struktur neurologis otak manusia dan penelitian perilaku oleh LeDoux (1970) menunjukkan bahwa dalam peristiwa penting kehidupan seseorang, EQ selalu mendahului intelegensi rasional. EQ yang baik dapat menentukan keberhasilan individu dalam prestasi belajar membangun kesuksesan karir, mengembangkan hubungan suami-istri yang harmonis dan dapat mengurangi agresivitas, khususnya dalam kalangan remaja
 (Goleman, 2002 : 17). 
  
Memang harus diakui bahwa mereka yang memiliki IQ rendah dan mengalami keterbelakangan mental akan mengalami kesulitan, bahkan mungkin tidak mampu mengikuti pendidikan formal yang seharusnya sesuai dengan usia mereka. Namun fenomena yang ada menunjukan bahwa tidak sedikit orang dengan IQ tinggi yang berprestasi rendah, dan ada banyak orang dengan IQ sedang yang dapat mengungguli prestasi belajar orang dengan IQ tinggi. Hal ini menunjukan bahwa IQ tidak selalu dapat memperkirakan prestasi belajar seseorang.
  
Kemunculan istilah kecerdasan emosional dalam pendidikan, bagi sebagian orang mungkin dianggap sebagai jawaban atas kejanggalan tersebut. Teori Daniel Goleman, sesuai dengan judul bukunya, memberikan definisi baru terhadap kata cerdas. Walaupun EQ merupakan hal yang relatif baru dibandingkan IQ, namun beberapa penelitian telah mengisyaratkan bahwa kecerdasan emosional tidak kalah penting dengan IQ (Goleman, 2002:44).
  
Menurut Goleman (2002 : 512), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
  
Menurut Goleman, khusus pada orang-orang yang murni hanya memiliki kecerdasan akademis tinggi, mereka cenderung memiliki rasa gelisah yang tidak beralasan, terlalu kritis, rewel, cenderung menarik diri, terkesan dingin dan cenderung sulit mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya secara tepat. Bila didukung dengan rendahnya taraf kecerdasan emosionalnya, maka orang-orang seperti ini sering menjadi sumber masalah. Karena sifat-sifat di atas, bila seseorang memiliki IQ tinggi namun taraf kecerdasan emosionalnya rendah maka cenderung akan terlihat sebagai orang yang keras kepala, sulit bergaul, mudah frustrasi, tidak mudah percaya kepada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan dan cenderung putus asa bila mengalami stress. Kondisi sebaliknya, dialami oleh orang-orang yang memiliki taraf IQ rata-rata namun memiliki kecerdasan emosional yang tinggi.

Baca Selengkapnya ....

Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dengan Prestasi Belajar Pada Siswa

Posted by Lowongan Kerja Cpns Terbaru Monday, December 19, 2011 0 comments

Selama ini banyak orang yang berpendapat bahwa untuk meraih prestasi belajar yang tinggi diperlukan Kecerdasan Intelektual(IQ) yang juga tinggi. Namun, menurut hasil penelitian terbaru dibidang psikologi membuktikan bahwa IQ bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi prestasi belajar seseorang, tetapi ada banyak faktor lain yang mempengaruhi salah satunya adalah kecerdasan emosional. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada peranan kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar pada siswa kelas II SMU.

            Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain. Sedangkan prestasi belajar adalah hasil belajar dari suatu aktivitas belajar yang dilakukan berdasarkan pengukuran dan penilaian terhadap hasil kegiatan belajar dalam bidang akademik yang diwujudkan berupa angka-angka dalam rapor. Bila siswa memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, maka akan meningkatkan prestasi belajar. Hipotesis alternatif (Ha) dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar pada siswa kelas II SMU dan Hipotesis nihil (Ho) adalah tidak ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar pada siswa kelas II SMU.

            Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kecerdasan emosional sedangkan prestasi belajar sebagai variable terikat. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas II SMU Lab School Jakarta Timur yang seluruhnya berjumlah 240 orang. Sampel penelitian adalah 148 siswa, menggunakan metode proporsional random sampling. Dalam pengumpulan data digunalan metode skala untuk kecerdasan emosional berdasarkan teori Daniel Goleman yang terdiri dari mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain; dan untuk mengukur prestasi belajar siswa digunakan metode pemeriksaan dokumen dengan melihat nilai rapor semester I.

            Nilai korelasi yang diperoleh pada analisis validitas instrumen dengan rumus korelasi Product Moment dari Pearson berkisar antara 0,320 - 0,720 dan p berkisar antara 0,000 - 0,008. Berdasarkan pada taraf signifikan 0,05 diperoleh 85 item valid dan 15 item gugur dari 100 item yang ada pada skala kecerdasan emosional. Nilai koefisien reliabilitas yang diperoleh 0,9538 dihitung dengan rumus Alpha Cronbach.

            Hasil analisis data penelitian menunjukkan nilai koefisien korelasi sebesar 0,248 dengan p 0,002 (<0,05) maka Ha diterima dan Ho ditolak. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar pada siswa kelas II SMU Lab School Jakarta Timur.

Baca Selengkapnya ....